Seperti sedang mengadili diri sendiri, maka aku menyusuri kota ini,
sendiri, sebab dengan begini aku bisa mengungkapkan kegilaanku yang
sempat tertunda, keinginan untuk menyusuri toko-toko buku, sekedar
melihat pameran seni dan tentu saja kegilaan untuk mengenangmu.
Aku
sedang menikmati kopi. Mataku terarah pada jalanan basah
dibalik jendela yang buram karna udara dingin diluar. Sore ini hujan
turun lagi. Kali ini tak terlalu deras seperti kemarin. Aku bahkan
menyukainya, karna hujan turun dengan butiran butiran bening yang sejuk
dipandang mata. Rasanya tenang melihat hujan itu, sama tenangnya ketika
mendengar kabar kamu baik baik saja disana. Ya hujan gerimis dan
secangkir kopi, ah betapa romantisnya hidup ini.
Aku sadar tidak bisa memilikimu, tapi untuk merindukanmu aku rasa tidak
ada yang salah. Aku hanya mencari-cari suasana yang pernah hadir dalam
duniaku,ketika bersamamu, kau yang telah "menamparku" bahwa hidup tidak
bisa diselesaikan dengan sikap cengeng, bahwa belajar tidak pernah
selesai, bahwa kebahagiaan adalah suatu hal yang patut diperjuangkan.
Mereka bilang, hanya karena dua orang saling mencintai bukan berarti
mereka harus bersama saat itu juga. Cinta yang terburu buru tidak pernah
berakhir manis. Kesabaran selalu menjanjikan hadiah utama. Sambil
menunggu saatnya tiba,cukup rindu ini saja yang ku nikmati dengan
caraku, mungkin dengan menyeruputnya sedikit demi sedikit dalam
secangkir kopi. Atau membiarkan rindu itu pergi seperti uap dari
secangkir kopi yang panas. Jujur, aku nyaman dengan caramu mencintaiku
yang tidak cengeng, tidak copy paste sinetron atau drama korea sampah
itu, haha dan sebab itu aku bisa merindukanmu dengan caraku, dengan menyukai
filsafat sembari ditemani playlist lagu-lagu kesukaanku.
Tak ada yang mengerti tentang cinta. Semua makhluk bumi terlihat
bodoh ketika memujanya.
Dua hal yang aku tahu, "cinta tak pernah gagal
membawa rindu dan tak pernah gagal memberikan luka. Hanya sebatas itu".
Disini
memang lebih baik, tempat aku berlari darimu. Tempat buatku sembari
menghitung jejak rindu. Berusaha memberikanmu waktu, tanpa aku. Mungkin
kamu akan merindukanku di suatu waktu, pikirku naif. Mungkin juga aku
sempat melintas di pikiranmu yang rumit, ketika kamu tak sedang sibuk
dan sedang asyik menatap secangkir kopi.
Sehingga kamu tahu, ada yang merindukanmu sambil menggenggam secangkir kopi yang sama, dengan rasa yang berbeda mungkin.
Ya..kopiku kali ini, rasa rindu yang tak tersampaikan. :')
by ~MY
Andai waktu menuliskan pertemuan. maka satu dua rindu akan menghapus kesedihan. Lalu satu lainnya, akan tenggelam dalam pelukan.~
Minggu, 29 Maret 2015
Jumat, 27 Maret 2015
Kembali untuk Bersama Lagi
Kamu mungkin tidak akan datang lagi, aku mungkin juga sudah
mengikhlaskanmu pergi (kalau tidak sekarang, setidaknya nanti pasti).
Karena entah di mana kita sekarang, aku tidak tahu. Apa kamu juga
kadang-kadang teringat aku? Apa kamu kadang-kadang rindu dengan
perbincangan-perbincangan kita? Apa kamu sering membayangkan apa yang
akan kita lakukan kalau kita bertemu lagi? Ah, sudahlah.belum sampai kesitu ilmuku untuk membayangkannya.
Aku menulis ini tidak punya maksud apa-apa karena aku memang tidak ingin apa-apa. Aku hanya ingin kamu baik-baik saja dan berbahagia meski bukan kita yang akhirnya ditakdirkan bersama. Dari awal aku sudah tahu, apa pun yang berlangsung menyenangkan, belum tentu seperti itu selamanya. Selalu berharap yang terbaik, namun bersiap juga untuk kemungkinan terburuknya. Aku bahagia, meski kita tidak pernah benar-benar bersama.
Aku suka memandangi hujan berlama-lama, tapi tanpamu, rasanya mungkin tidak akan lagi sama. Aku akan baik-baik saja. :)
Tidak akan selamanya mengusikmu. Kamu jangan merasa bersalah atau terlalu khawatir dan bertanya-tanya, apakah aku (akan) baik-baik saja? Karena pada akhirnya kita pasti akan baik-baik saja. Iya kan ? :)
Masih ingat, pada waktu aku menangisimu, kamu bilang kita masih bisa berteman? Awalnya, ya kita mungkin masih berhubungan, saling menanyakan kabar, mungkin juga ngobrol kadang-kadang. Tapi lama-kelamaan berangsur berkurang, namun ku berharap tidak saling melupakan.
Aku tahu, ini yang selalu kamu katakan setiap kali aku mengatakan rindu atau mengajakmu bersama lagi, “Kamu harus bisa seperti aku. Merelakanmu. Yang berlalu biarlah tetap berlalu”. Kamu tidak tahu sakitnya aku, jadi sebenarnya kamu tidak boleh berkata harus bisa seperti kamu, membiarkan yang berlalu tetap berlalu. Bagi yang sudah tidak mencintai lagi, itu mudah. Kamu pernah tidak, sedang jatuh cinta-cintanya, tapi diminta untuk berhenti mencintainya? Kamu pernah tidak, sedang kangen-kangennya, tapi disuruh jangan lagi melakukannya? Kalau belum, jangan menganggap ‘yang berlalu biarlah berlalu’ itu semudah mengatakannya saja.
Sebenarnya, saling mencintai itu berpikirnya bukan lagi aku atau kamu. Bukan lagi aku berusaha mati-matian membahagiakanmu, atau kamu mencoba membahagiakan aku. Saling mencintai itu berusaha agar kita bahagia dengan tetap bersama. Sayangnya, memang dari awal pengertian kita tentang mencintai itu beda. Kamu, dengan kamu harus bahagia, aku dengan mencoba selalu menerima kamu apa adanya, bahkan dengan egomu yang tidak pernah kusangka bahwa bahagiamu jauh lebih penting dari bahagiaku.
Kalau kamu tidak mau, aku mengerti. Seberapa pun berantakannya, seberapa pun jatuhnya aku saat itu. Karena aku tidak pernah bisa memberi sebagian saja. Aku selalu ingin memberi hatiku, sepenuhnya. Lalu aku tinggalkan seluruhnya untuk kamu bawa pergi jauh sejauh-jauhnya.
Betapapun itu semuanya, rasa cintaku padamu belum benar-benar luntur semestanya.
by ~MY
Aku menulis ini tidak punya maksud apa-apa karena aku memang tidak ingin apa-apa. Aku hanya ingin kamu baik-baik saja dan berbahagia meski bukan kita yang akhirnya ditakdirkan bersama. Dari awal aku sudah tahu, apa pun yang berlangsung menyenangkan, belum tentu seperti itu selamanya. Selalu berharap yang terbaik, namun bersiap juga untuk kemungkinan terburuknya. Aku bahagia, meski kita tidak pernah benar-benar bersama.
Aku suka memandangi hujan berlama-lama, tapi tanpamu, rasanya mungkin tidak akan lagi sama. Aku akan baik-baik saja. :)
Tidak akan selamanya mengusikmu. Kamu jangan merasa bersalah atau terlalu khawatir dan bertanya-tanya, apakah aku (akan) baik-baik saja? Karena pada akhirnya kita pasti akan baik-baik saja. Iya kan ? :)
Masih ingat, pada waktu aku menangisimu, kamu bilang kita masih bisa berteman? Awalnya, ya kita mungkin masih berhubungan, saling menanyakan kabar, mungkin juga ngobrol kadang-kadang. Tapi lama-kelamaan berangsur berkurang, namun ku berharap tidak saling melupakan.
Aku tahu, ini yang selalu kamu katakan setiap kali aku mengatakan rindu atau mengajakmu bersama lagi, “Kamu harus bisa seperti aku. Merelakanmu. Yang berlalu biarlah tetap berlalu”. Kamu tidak tahu sakitnya aku, jadi sebenarnya kamu tidak boleh berkata harus bisa seperti kamu, membiarkan yang berlalu tetap berlalu. Bagi yang sudah tidak mencintai lagi, itu mudah. Kamu pernah tidak, sedang jatuh cinta-cintanya, tapi diminta untuk berhenti mencintainya? Kamu pernah tidak, sedang kangen-kangennya, tapi disuruh jangan lagi melakukannya? Kalau belum, jangan menganggap ‘yang berlalu biarlah berlalu’ itu semudah mengatakannya saja.
Sebenarnya, saling mencintai itu berpikirnya bukan lagi aku atau kamu. Bukan lagi aku berusaha mati-matian membahagiakanmu, atau kamu mencoba membahagiakan aku. Saling mencintai itu berusaha agar kita bahagia dengan tetap bersama. Sayangnya, memang dari awal pengertian kita tentang mencintai itu beda. Kamu, dengan kamu harus bahagia, aku dengan mencoba selalu menerima kamu apa adanya, bahkan dengan egomu yang tidak pernah kusangka bahwa bahagiamu jauh lebih penting dari bahagiaku.
Kalau kamu tidak mau, aku mengerti. Seberapa pun berantakannya, seberapa pun jatuhnya aku saat itu. Karena aku tidak pernah bisa memberi sebagian saja. Aku selalu ingin memberi hatiku, sepenuhnya. Lalu aku tinggalkan seluruhnya untuk kamu bawa pergi jauh sejauh-jauhnya.
Betapapun itu semuanya, rasa cintaku padamu belum benar-benar luntur semestanya.
by ~MY
Senin, 23 Maret 2015
Rindu yang Tak Semestinya Dirindui
Sudah lama aku tak menulis, mungkin memang ruh jemariku terlalu lelah
menekan sederet huruf jaib ini. Malam ini ada sesuatu yang menghentak
dadaku, seperti butiran-butiran salju yang perlahan jatuh lalu meresap
menembus kulitku. Ah, bagaimana aku harus mengatakannya, ini seperti
perasaan rindu yang aneh, karena memang aku sedang tak ingin merindukan
sesuatu apapun saat ini.
Terakhir kali aku merindukan seseorang, entah seminggu atau bahkan sebulan yang lalu. Ya, sudah lama memang, sehingga aku merasakan getaran hebat dalam dada ini, yang memaksa diriku sepenuhnya ingin menyebut namamu, peyempuanku ! Menyedihkan bukan, "karena saat anda merindukan seseorang yang sangat anda cintai terkadang tak bisa sepanjang waktu, walau namun anda saat menginginkan hal tersebut". Aku bukanlah pencinta yang baik, aku bukan juga pencerita yang mampu hadirkan kisah-kisah romans tentang kekasihnya.
Dia, peyempuan yang mampu membuatku tak berdaya saat mengingatnya adalah perempuan yang sama yang menghadirkan rasa takjubku untuk pertama kali, dan sekaligus peyempuan yang mengajarkanku akan arti cemburu dan sakit hati yang sesungguhnya. Tidak ada yang sempurna darinya selain kesempurnaan yang didambakan setiap kekasih akan pujaannya. Lalu, bagaimana kisah ini berawal hingga untuk merindukannya pun aku tak sanggup? Entahlah, aku sendiri tak pernah tahu sampai saat ini.
Malam ini, aku merindukan sesuatu yang mungkin tak semestinya aku rindukan. Mungkin saja aku bisa melupakan semua hal itu, tapi aku harus mulai darimana? mungkin dengan kesibukanku, melupakan rindu itu dengan tertawaku, mengubur derita tanpa harus menancapkan nisan bertulis namamu, tapi, tetap saja kadang kau hadir entah darimana. Aku hanya tahu satu hal, aku pernah berhasil membencimu dengan sederhana, aku pernah mencacimu dengan ratusan kata sayang, dan aku pernah merobek hatimu meski setelahnya kau membakar hatiku menjadi sarana untuk merindu.
Ah entahlah, malam ini aku merasakan hal yang berbeda. Bayangan segala kemungkinan bahwa mungkin saja kita tak berakhir dengan sumpah serapah seperti ini tiba-tiba muncul kembali di otakku. Kemungkinan akan mimpi dan impian yang pernah ada seperti menyeruak kembali menerobos lorong-lorong panjang kenanganku. Mungkin kita bisa berakhir bahagia, sebagai dua manusia renta yang saling setia menjaga hati dan keyakinannya akan perasaan masing-masing. Dua makhluk yang kemudian akan saling berpeluk saat ajal menjemput. Ah, atau mungkin kita sudah memiliki anak yang lucu dan saling berebut remote televisi saat senja telah tiba, hahaha :D Ya, mungkin kita seharusnya berakhir seperti itu.
Kini, perasaan rindu ini sudah menyentuh hatiku. Rasa dingin merambat ke sekujur tepinya, menelusuri guratan-guratan rasa yang pernah ada. Tidak, aku tak ingin merasakannya lagi. Biarlah rindu ini lebur seraya kata-kata yang kutulis lewat jemariku dengan sendirinya, biarlah rasa ini pudar lewat hitungan detiknya. Cukup, untuk malam ini.
Maaf sayang, satu tanya untukmu, dustakah rindu ini yang hadir untukmu? atau memang selayaknya kau tak pantas kurindukan lagi?
PeyempuanKu :)
by MY
Terakhir kali aku merindukan seseorang, entah seminggu atau bahkan sebulan yang lalu. Ya, sudah lama memang, sehingga aku merasakan getaran hebat dalam dada ini, yang memaksa diriku sepenuhnya ingin menyebut namamu, peyempuanku ! Menyedihkan bukan, "karena saat anda merindukan seseorang yang sangat anda cintai terkadang tak bisa sepanjang waktu, walau namun anda saat menginginkan hal tersebut". Aku bukanlah pencinta yang baik, aku bukan juga pencerita yang mampu hadirkan kisah-kisah romans tentang kekasihnya.
Dia, peyempuan yang mampu membuatku tak berdaya saat mengingatnya adalah perempuan yang sama yang menghadirkan rasa takjubku untuk pertama kali, dan sekaligus peyempuan yang mengajarkanku akan arti cemburu dan sakit hati yang sesungguhnya. Tidak ada yang sempurna darinya selain kesempurnaan yang didambakan setiap kekasih akan pujaannya. Lalu, bagaimana kisah ini berawal hingga untuk merindukannya pun aku tak sanggup? Entahlah, aku sendiri tak pernah tahu sampai saat ini.
Malam ini, aku merindukan sesuatu yang mungkin tak semestinya aku rindukan. Mungkin saja aku bisa melupakan semua hal itu, tapi aku harus mulai darimana? mungkin dengan kesibukanku, melupakan rindu itu dengan tertawaku, mengubur derita tanpa harus menancapkan nisan bertulis namamu, tapi, tetap saja kadang kau hadir entah darimana. Aku hanya tahu satu hal, aku pernah berhasil membencimu dengan sederhana, aku pernah mencacimu dengan ratusan kata sayang, dan aku pernah merobek hatimu meski setelahnya kau membakar hatiku menjadi sarana untuk merindu.
Ah entahlah, malam ini aku merasakan hal yang berbeda. Bayangan segala kemungkinan bahwa mungkin saja kita tak berakhir dengan sumpah serapah seperti ini tiba-tiba muncul kembali di otakku. Kemungkinan akan mimpi dan impian yang pernah ada seperti menyeruak kembali menerobos lorong-lorong panjang kenanganku. Mungkin kita bisa berakhir bahagia, sebagai dua manusia renta yang saling setia menjaga hati dan keyakinannya akan perasaan masing-masing. Dua makhluk yang kemudian akan saling berpeluk saat ajal menjemput. Ah, atau mungkin kita sudah memiliki anak yang lucu dan saling berebut remote televisi saat senja telah tiba, hahaha :D Ya, mungkin kita seharusnya berakhir seperti itu.
Kini, perasaan rindu ini sudah menyentuh hatiku. Rasa dingin merambat ke sekujur tepinya, menelusuri guratan-guratan rasa yang pernah ada. Tidak, aku tak ingin merasakannya lagi. Biarlah rindu ini lebur seraya kata-kata yang kutulis lewat jemariku dengan sendirinya, biarlah rasa ini pudar lewat hitungan detiknya. Cukup, untuk malam ini.
Maaf sayang, satu tanya untukmu, dustakah rindu ini yang hadir untukmu? atau memang selayaknya kau tak pantas kurindukan lagi?
PeyempuanKu :)
by MY
Langganan:
Postingan (Atom)