Sabtu, 16 Mei 2015

Kini Kurindu Marahmu

Setiap kali aku melangkah di pinggir sawah ini, maka sejenak otak kananku memutar sebuah memori indah bersama sang ayah.
Yah.. darinya aku mendapat sebuah pelajaran berharga untuk kehidupan ini, hidup adalah kerja keras, tak boleh ada istilah malas. 

Ayah adalah sosok pekerja keras, dialah yang siang malam memeras keringat dan membanting tulang demi rizki halal untuk kebutuhan keluarga. Sebagai seorang yang jenjang pendidikannya pendek, ayah berkeinginan agar anak-anaknya kelak tidak seperti dirinya. Anak-anaknya harus berpendidikan tinggi, setinggi mungkin, agar nasib kami semua bisa jadi lebih baik.

Berbalut kesulitan hidup dan bergelut dengan pekerjaan yang berat sudah menjadi kebiasaanya, bahkan sejak kecil! Karenanya, mungkin wajar jika temperamennya sedikit keras. Lumrah, jikamkadang kelelahan yang memuncak tatkala berburu dengan waktu, mengejar musim dan menghalau hama yang bisa merusak segla harapannya, pun bisa memicu kemarahannya. Apalagi ketika aku tak mau membantu meringankan tanggungannya.

Pernah suatu hari, karena tugas dari sekolah, aku pernah tidak pulang kerumah selama 2 hari. Begitu sampai di ambang pintu rumah, kontan sang ayah pun marah padaku. Masih dalam kondisi lelah sore itu, aku pun beralasan berbagai macam keadaan. Namun entah karena ungkapanku yang kurang ajar atau memang ayah sudah tak bisa menahan diri lagi, bug..bug..bug..!! Pukulan ayah pun melayang di bagian belakang kepalaku. Aku langsung lari seraya menangis semampuku. "Ayah.. itulah momen paling manis saat kau masih ada".

Hari demi hari telah berlalu.. 5 tahun sudah terasa engkau tidur di balutan tanah yang lembut itu. Engkau tak bisa ingat lagi ribuan pekerjaan yang selalu membebani seluruh hidupmu. Lima tahun juga engkau sudah pensiun dari cangkul dan lumpur sebagai sahabat karibmu. Kini engkau tergeletak lemah tanpa bisa bersua lagi semenjak kesunyian jadi teman dekatmu.

Kini, ketika engkau tak bisa marah lagi, justru malah aku yang rindu dengan marahmu. Aku yakin, marahmu adalah sebutir kebaikan dan luapan kasih sayangmu pada sekumpulan anak-anakmu yang nakal ini. Sekarang, saat aku mengingatmu, ada cinta yang meruah, ada terimakasih yang tak mampu aku ungkapkan.

Ayah... salamku dari jauh. Karena keadaan yang memaksaku yang memaksaku tak bisa selalu menyambangimu setiap waktu. Janjiku, tak akan lupa kusertakan namamu dalam do'a pada setiap munajadku kepada Allah Ta'ala. Yakinlah, kami semua sangat bersyukur memiliki sosok ayah sepertimu. Kami semua menyayangimu, dan tentu kami sangat bangga kepadamu.


"Salam dari dua orang cucumu, Zulhakim dan Zulkiram"  

Menasah Timu, 16 Mei 2015
Muhammad Yanda Bachtiar




Minggu, 19 April 2015

Semoga Semesta Mengamininya.


Pernah suatu masa di mana kita duduk bersama namun tak saling bersapa, bukan karena angkuh yang merajai hati, namun memang kala itu perkenalan belum lah ada. Kau dan aku masih lah dua asing dalam masing-masing lingkaran yang belum menemukan irisannya.

Mungkin bukan sekali dua kali saja, bahkan puluhan hingga ratusan kali sesungguhnya takdir selalu menyinggung kita, pada lingkaran yang sama. Mungkin saja kau juga berada di cafe yang sama ketika aku sedang menyeruput secangkir kopi dengan laptop menyala di atas meja.

Mungkin kau ada di sana, saat akhir minggu kuhabiskan waktuku untuk mengelilingi kota kita dengan sepedaku yang berlarikan manja, dan pulang dengan riuh gaduh anak-anak bermain ceria di pinggiran jalanan.

Mungkin juga kau ada di sana, saat akhir minggu kuhabiskan waktuku untuk bermain sepak bola di lembutnya rumput lapangan, dan sambil berharap kau ada di pinggir lapangan dengan sebotol minuman dan sehelai handuk di tangan.

Atau mungkin, kau juga ada di sana, dalam imajinasi dan mimpi yang ku ukir melalui keyboard laptopku. Mungkin kau yang hantarkan ide pada tulisanku, melalui doa yang tak pernah putus kau hantar padaku.

Ya, aku yakin setidaknya kita sering tak sengaja berdekatan jarak meski beberapa jengkal saja. Kau tahu kenapa? Karena yakinku bila kita tertakdir bersama, hati kita selalu bersahutan untuk saling memanggil satu sama lainnya.

Ah, mungkin kala itu malaikat pun sedang tersenyum, mengamini bahwa dua insan yang akan saling melengkapi ini untuk segera mewujudkan takdirnya.

Ya, seperti kita yang sedang tersenyum mengingat masa-masa itu, sambil duduk berdua menikmati hujan yang ikut meronakan hati kita, di tambah riuh tawa si kecil buah hati kita. iya, itu nanti, suatu saat nanti. :')
Semoga saja semesta mengamini.

Ah, Allah… aku bahagia :’)  



by MY